Review Buku “…dan janda itu ibuku” Kang Maman
Saya termasuk orang yang jarang membeli buku karena judul. Tapi begitu mata saya bertemu dengan kalimat “...dan janda itu ibuku,” saya berhenti. Bukan karena sensasional—meski judul itu memang provokatif—tapi karena ada sesuatu yang terdengar sangat jujur di sana. Tanpa metafora, tanpa basa-basi. Judul itu seperti sebuah pengakuan yang lama ditahan, akhirnya diucapkan dengan napas panjang.
Sebagai laki-laki, saya tumbuh dalam kultur yang jarang mengizinkan kita membicarakan ibu lebih dari sekadar simbol pengorbanan. Jarang sekali kita diajak untuk sungguh-sungguh memanusiakan ibu kita. Buku ini, sejak awal, menawarkan kemungkinan itu. Dan saya bersiap untuk merasa malu, terenyuh, dan—saya harap—lebih peka.
Dari halaman pertama, Kang Maman tak bermain-main. Ia membuka dengan kalimat pedih:
“Adakah rasa sakit melebihi sakit saat melahirkan? Ada. Saat dibentak oleh anak yang kulahirkan.”
Sebagai anak laki-laki, kalimat ini terasa seperti tamparan. Dalam satu baris, kita diingatkan bahwa tidak ada kekuatan yang lebih kokoh daripada seorang ibu yang tetap mencintai, bahkan saat dilukai.
Buku ini bercerita tentang sosok ibu Kang Maman—seorang perempuan muda berusia 31 tahun yang tiba-tiba harus menjadi janda dan membesarkan lima anak sendirian. Tapi buku ini bukan hanya biografi seorang ibu. Ini adalah potret sosial. Sebuah kisah perempuan yang dipaksa kuat oleh keadaan, tapi tak kehilangan kelembutannya.
Hal yang membuat buku ini begitu menyentuh adalah kesederhanaan narasinya. Kang Maman tidak memaksa pembaca untuk iba. Ia hanya menyodorkan kenyataan—sebagaimana adanya.
Misalnya, ketika menggambarkan ibunya yang menghabiskan malam di atas sajadah:
“Ibu isi malam-malamnya di atas sajadah, berdoa dan merintih. Mungkin membayangkan apakah dia akan mampu membopong 5 anaknya yang masih kecil-kecil…”
Tak ada hiperbola. Hanya satu perempuan dan sajadah. Tapi justru di situ letak kekuatannya. Kita bisa membayangkan ibu kita sendiri dalam posisi yang sama. Sunyi. Tak tahu harus bagaimana, tapi terus bersujud.
Stigma: Janda Bukan Aib
Buku ini menggugah karena dengan lugas membongkar stigma masyarakat terhadap janda. Di banyak sudut Indonesia, kata “janda” masih seperti kata kutukan. Seolah-olah seorang perempuan yang ditinggal suami secara otomatis menjadi makhluk yang harus dikasihani, dicurigai, atau bahkan dijauhi.
“Segera carikan jodoh ibumu. Usia lagi ranum-ranumnya…”
Kalimat ini bukan fiksi. Ini kenyataan. Banyak perempuan, setelah kehilangan suami, tak diberi waktu untuk pulih. Masyarakat terburu-buru mengembalikan mereka ke ‘pakem sosial’—entah dengan menikah lagi, mengurung diri, atau diam dalam stigma.
Tapi ibu Kang Maman tidak begitu. Ia memilih jalan sunyi: membesarkan lima anak tanpa menggantungkan hidupnya pada orang lain. Dan ia berhasil. Bukan karena hidupnya mudah, tapi karena ia memilih untuk tidak menyerah.
Pertanyaan yang Menggugah
Kekuatan lain dari buku ini adalah cara Kang Maman mengajak pembaca berpikir. Ia tak hanya bercerita, tapi bertanya. Dan pertanyaannya tidak mudah dihindari.
"Apakah harga diri satu keluarga harus ikut pergi hanya karena kepergian seorang bapak?"
"Mengapa perempuan yang menjadi janda justru sering diposisikan sebagai ancaman?"
Pertanyaan-pertanyaan ini seperti bom waktu. Kita bisa mengabaikannya, tapi cepat atau lambat, mereka akan meledak di kepala kita.
Sebagai pembaca, saya merasa ini bukan buku tentang perempuan saja. Ini buku tentang bagaimana seharusnya kita—para lelaki—belajar. Tentang tanggung jawab. Tentang empati. Tentang menjadi pelindung tanpa merasa paling kuat.
Kang Maman, sebagai anak laki-laki tertua, tidak ditampilkan sebagai pahlawan. Ia juga rapuh. Ia juga pernah membentak. Tapi justru dari kelemahan itulah ia belajar. Ia tumbuh menjadi suami, ayah, dan warga yang tidak lupa siapa yang membuatnya bisa berdiri.
Buku ini bukan hanya untuk perempuan. Ini buku untuk siapa saja yang pernah hidup di bawah cinta seorang ibu. Untuk para pemuda yang sedang mencari definisi jantan. Untuk guru-guru yang ingin mengenalkan empati. Untuk mahasiswa yang mulai rindu rumah tapi gengsi menelepon ibu.
Dan terutama untuk siapa pun yang pernah lupa bahwa di balik nasi yang kita makan, ada tangan yang pernah gemetar menanaknya sambil menangis diam-diam.
Setelah Membaca Buku Ini
Saya duduk diam cukup lama. Di kepala saya, wajah ibu saya muncul. Bukan wajahnya saat saya wisuda atau saat saya meraih sesuatu, tapi wajahnya saat mencuci baju tengah malam, wajahnya saat hanya diam ketika saya bersikap egois, wajahnya saat saya pulang larut dan lupa bilang terima kasih.
Buku ini membuat saya ingin pulang. Bukan hanya secara fisik, tapi secara batin. Saya ingin pulang ke percakapan yang jujur dengan ibu. Ingin mulai bertanya tentang kisah hidupnya, bukan hanya kabar hari ini.
Saya juga ingin lebih berani melawan stigma. Bahwa menjadi janda bukan akhir, bukan cacat, bukan aib. Dalam banyak kasus, justru di situlah titik tolak keberanian manusia diuji.
Penutup
“…dan janda itu ibuku” bukan buku yang mudah dilupakan. Ini bukan sekadar kisah personal Kang Maman, tapi cermin besar yang dipasang di tengah rumah kita, agar kita berhenti sejenak dan menatap: sudahkah kita cukup mengenal ibu kita sendiri?
Membaca buku ini, saya tidak hanya belajar tentang cinta seorang ibu. Saya belajar tentang keberanian seorang perempuan. Tentang bagaimana menjadi manusia yang utuh, yang tidak takut mengakui rasa sakit, tapi juga tidak berhenti mencintai.
Dan seperti kata Kang Maman:
“Mewahkan makam itu tidak penting, yang penting mewahkan hati ibumu.”
Saya kira, tak ada nasihat yang lebih bijak dari itu.