Sebuah Review Buku Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati

Sebagai seorang ayah, saya tidak pernah benar-benar siap membaca novel seperti Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati. Bukan karena bahasanya rumit, atau ceritanya sulit dipahami. Justru sebaliknya. Novel ini terlalu dekat. Terlalu manusiawi. Dan yang paling menusuk—terlalu mungkin terjadi pada anak kita sendiri.

Novel ini mengisahkan Ale, seorang pemuda yang merasa hidupnya gagal total. Ia diabaikan, direndahkan, dan dihantui perasaan tidak pernah cukup. Ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, tetapi sebelum itu, ia ingin menutup segalanya dengan satu hal sederhana: semangkuk mie ayam favoritnya. Premisnya terdengar ringan, bahkan cenderung jenaka. Tapi begitu Anda menyelami halaman demi halaman, Anda akan tahu bahwa cerita ini adalah tangisan sunyi yang dibungkus tawa getir.

Dan sebagai ayah dari dua anak laki-laki yang sedang tumbuh dan mencari jati diri, saya membacanya dengan dada sesak.

Mie Ayam dan Luka yang Tak Terlihat

Sebagian besar dari kita—terutama generasi orang tua seperti saya—terbiasa melihat luka secara kasat mata. Anak jatuh dari sepeda? Luka di lututnya bisa langsung kita obati. Anak demam? Kita tahu memberi obat atau membawa ke dokter. Tapi bagaimana jika anak kita tidak menunjukkan tanda-tanda luka sama sekali, tapi sebenarnya sedang berdarah hebat di dalam dirinya sendiri?

Ale, dalam novel ini, adalah representasi dari anak-anak yang mungkin setiap hari lewat di depan rumah kita. Atau duduk di seberang meja makan. Anak-anak yang tampak baik-baik saja tapi sudah lama menyerah di dalam hati. Anak-anak yang merasa dirinya hanyalah "figuran" dalam kehidupan orang lain. Anak-anak yang merasa tidak pernah cukup, bahkan untuk sekadar dicintai.

Saya membaca novel ini bukan hanya sebagai pembaca, tapi sebagai ayah yang mulai bertanya-tanya: sudah cukupkah saya hadir dalam hidup anak-anak saya? Sudahkah saya benar-benar mendengar, bukan sekadar mendengarkan?

Brian Khrisna dan Gaya Satire yang Menampar

Satu hal yang perlu saya akui: Brian Khrisna adalah penulis yang lihai meramu humor dan kegetiran dalam satu racikan yang membuat pembaca tak bisa lepas. Dalam novel ini, ia mengangkat isu bunuh diri, depresi, dan perundungan—semua tema berat—tanpa membuat pembaca merasa sedang diceramahi. Justru lewat gaya bahasa yang ringan dan kadang jenaka, kita dibawa menyusuri sisi tergelap dari kehidupan Ale tanpa kehilangan empati.

Ini seperti saat anak kita pulang sekolah dan bilang, “Tadi aku diketawain teman, lucu banget deh!” Tapi di balik tawanya, ada rasa malu, terluka, bahkan ingin menghilang. Kita, para orang tua, kadang tertipu dengan tawa itu.

Itu sebabnya saya merasa buku ini adalah alarm sunyi bagi kita. Tawa Ale adalah sinyal yang sudah lama dikirim banyak anak, tapi sering kali tidak kita tangkap karena terlalu sibuk atau terlalu yakin bahwa mereka "baik-baik saja".

Kesederhanaan yang Menyimpan Luka

Saya tertegun saat menyadari betapa cerdasnya Brian memilih mie ayam sebagai simbol. Apa yang lebih sederhana dari semangkuk mie ayam? Makanan rakyat yang mudah ditemukan, tidak neko-neko, bahkan jadi favorit banyak orang dari anak kecil hingga orang tua. Tapi justru di situ letak kekuatannya.

Ale menjadikan mie ayam sebagai bentuk kendali terakhir atas hidupnya. Ia ingin setidaknya bisa menentukan bagaimana ia mengakhiri segalanya. Namun ketika bahkan mie ayam itu tidak bisa dia dapatkan, pembaca akan menyadari: hidup kadang tidak memberikan hal sekecil dan sesederhana yang kita minta, bahkan ketika kita sudah menyerah.

Saya sempat terdiam lama di bagian ini. Apa jadinya kalau anak kita menjadikan "mie ayam"-nya sendiri sebagai bentuk perpisahan? Apakah kita tahu apa mie ayam mereka? Apakah kita sempat menanyakannya, mendengarkannya, atau kita terlalu sibuk memberi nasihat?

Tidak Ada Superhero, Hanya Anak Biasa

Salah satu hal paling menyentuh bagi saya adalah akhir cerita Ale. Tidak ada keajaiban. Tidak ada transformasi ala film Marvel. Ale tidak mendadak bahagia, tidak mendadak sukses, tidak juga mendapat wahyu besar yang mengubah segalanya. Ia tetap Ale. Tapi satu hal berubah: ia mulai melihat hidup dari sudut yang berbeda.

Dan di situlah letak keindahan cerita ini. Brian tidak menawarkan solusi instan. Ia tidak menjanjikan akhir yang manis. Tapi ia memberikan ruang bagi pembaca untuk merasa bahwa "tidak apa-apa jadi biasa saja". Tidak apa-apa tidak jadi juara kelas. Tidak apa-apa hanya punya satu teman. Tidak apa-apa merasa sedih.

Bagi saya sebagai ayah, ini pelajaran besar. Kita terlalu sering menuntut anak-anak kita untuk hebat. Untuk tahan banting. Untuk selalu ceria. Padahal mungkin mereka hanya ingin kita duduk sebentar dan makan mie ayam bersama, tanpa banyak tanya, tanpa banyak petuah.

Sebuah Refleksi untuk Orang Tua

Sebelum membaca Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati, saya kira buku ini akan jadi bacaan ringan untuk akhir pekan. Tapi yang saya dapat justru introspeksi yang dalam. Tentang bagaimana saya memperlakukan anak-anak saya. Tentang apakah saya benar-benar hadir, atau sekadar ada secara fisik.

Setelah membaca, saya tahu satu hal pasti: saya ingin menjadi orang yang menyediakan "mie ayam" untuk anak-anak saya. Entah dalam bentuk waktu, pelukan, atau sekadar mendengarkan keluh kesah mereka. Saya ingin mereka tahu bahwa di rumah ini, mereka boleh gagal. Mereka boleh sedih. Mereka boleh tidak kuat. Dan mereka tetap akan dicintai.

Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati adalah buku yang seharusnya dibaca bukan hanya oleh remaja, tapi juga oleh orang tua. Karena mungkin, justru kita yang paling butuh untuk belajar memahami. Agar tidak ada lagi anak yang makan mie ayam sendirian di ujung keputusan yang tak bisa diulang.

Untuk Ale, dan semua Ale lainnya di dunia ini, semoga kamu tahu bahwa kamu berharga—bahkan jika kamu sendiri belum menyadarinya.


Gimana nih menurut Ayah sekalian? Yuk, share pengalaman atau pendapat di kolom komentar di bawah! Setelah itu, jangan lupa mampir ke artikel-artikel Zona Ayah lainnya, pasti banyak yang pas buat Ayah.
LihatTutupKomentar